Aku menyebutnya keluarga.
Ya, karena walau bertemu keluarga baru, aku tidak bisa menggantikan eksistensi yang lama dengan si baru. Cukup membuat laci baru di hati untuk tempat semayam mereka selamanya, dengan gembok yang kuncinya kutinggalkan entah di mana. Benar-benar selamanya.
Memang setiap pertemuan itu selalu berdampingan dengan perpisahan. Tak ada yang abadi, istilahnya. Semua itu adalah seni hidup di bumi Allaah.
Ada keluarga yang ketika kuberpisah dengannya, kutahu bahwa hal itu tak bisa langsung kuterima. Inginnya terus berhubungan, inginnya terulang lagi masa-masa bersama... akhirnya janji untuk mengulang kembali kebersamaan itu terucap dengan 'gedung hijau' sebagai saksi bisu.
Ada juga keluarga yang kunanti perpisahannya. Merasa akan tenang jika telah mengakhirinya. Bukan karena kutaksuka dengan seni yang ada di dalamnya, tapi karena bertumpangtindihnya dengan keluarga lain yang baru-baru ini aku anggap sebagai keluarga.
Keluarga yang telah menanti diri ini sepaket dengan ruhnya. Tidak hanya jasad tanpa keinginan masuk dalam lingkarannya.
Tidak, aku tidak mengatakan akan tergantinya eksistensi keluarga lama itu dengan keluarga baru di hatiku. Sekali lagi, mereka memiliki laci masing-masing dengan gembok yang kuncinya sengaja dihilangkan. Kapanpun dapat dikenang ketika waktu memaksa berpisah.
Di masa depan nanti, tentu aku akan bertemu lebih banyak lagi keluarga-keluarga kecil yang bertemu dan berpisah dalam hidupku. Kucoba pahami pola itu, agar tahu bagaimana cara memanfaatkan waktu bersama yang terbatas.
Jika perpisahan tak dapat dielakkan, mengapa enggan berdoa demi mereka sebagai ekspresi rindu? Bukankah ia juga pengikat tali indah tak terlihat itu?
Keluarga kecil yang kini bersamaku, kuharap di waktu kita yang terbatas ini, kita selalu mengukir kenangan tak terlupa hingga kita berkumpul lagi setelah berpisah, atau paling tidak sebagai cerita pengisi waktu luang bersama keturunan nantinya...
Terimakasih telah mau berkontribusi dalam penempaan kehidupanku...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar