Lelahnya SMA dengan lelahnya kampus.
Dan sedikit banyak rasa sesal itu memelukku hingga sesak.
Mengapa dulu aku merasa tak bisa ini tak bisa itu.
Tak sempat ini tak sempat itu.
Hingga semua yang ingin kulakukan kugantungkan pada orang lain. Mereka yang menyayangiku.
Padahal ketika semua harus kujalani sendiri, dengan kaki sendiri, tanpa ingin merepotkan orang lain, aku bisa...
Memangkas jam tidurku, mengabaikan rasa pegal di otot-otot kakiku, memaksa tangan terus melakukan sesuatu...
Aku bisa...
Bahkan lelah itu kini menjadi teman baikku.
Mengapa dulu aku tidak bisa seperti ini?
Pernah kubandingkan kesibukan antara "hari ini" dengan "kemarin". Sama. Hanya berbeda di ruhiyahku. Kemarin ketika aku menyempatkan diri bertilawah dan beral-ma'tsurat pagi petang. Sedangkan hari ini aku terlena dengan kesibukan bercorat-coret di dunia maya hingga keinginan membaca al-ma'tsurat sanggup kutinggalkan. Hanya itu.
Tapi pengaruhnya begitu besar.
Kemarin dengan ringannya aku melompat dari kost menuju departemen. Kuliah di lantai bawah, praktikum di lantai atas, rapat setelah melakukan keduanya, memutari pasar mengerjakan tugas-tugas sekalian mencari makan, mengenyam amanah di gedung 'hijau' hingga malam, dan akhirnya kembali lagi ke kostan dengan segudang lelah dan sebongkah senyum.
Hari ini...dengan segala keluhan aku turun dari kasur. Menggerutu bahwa aku jenuh dengan jadwal yang tiap hari harus datang pagi di jam yang sama. Seperti kembali sebagai siswa. Malas mengerjakan laporan, enggan mengiyakan ajakan teman untuk ikut seminar, inginnya di kamar menyelesaikan corat-coret itu tanpa diganggu rutinitas harian.
Imbasnya berada di masa depan.
Ketika deadline laporan itu hanya bersisa jam. Ketika terlambat mengikuti acara yang diingini. Ketika corat-coret itu tak sesuai dengan keinginanku pada awalnya. Ketika lelah itu tak lagi diiringi senyuman.
Aku akhirnya sadar.
Bukan raga yang menentukan lelah tidaknya tubuh titipan-Nya ini.
Bukan otot-otot yang merasa lemas ketika bayangan kesibukan itu sudah di depan mata.
Tapi "Ruhiyah".
Ketika Ruhiyah itu di atas awan, ia mampu membujuk raga untuk tak merasa lelah sekarang dan menguatkannya berkontribusi sekali lagi. Lagi. Dan lagi. Ia jadikan lelah itu teman baik yang disambutnya dengan senyuman cerah ketika datang. Bahagia mampu melaksanakan apa yang harus dilaksanakan.
Ketika Ruhiyah itu terjerembap di dasar sumur, dengan sesuka hati raga mem-vonis bahwa dirinya lelah sebelum melakukan apa yang harus dilakukan. Otot-otot tubuh dengan senang hati menambahkan gaya gravitasinya pada kasur yang empuk. Mengajak kembali bersenang-senang di alam yang lebih fana dari dunia.
Menyesalnya....
Maka jagalah ruhiyah itu dengan amalan-amalan yaumiyah.
Agar ia menjadikan lelah sebagai teman baik yang datang diiring senyuman. Bukan menjadikannya alasan untuk tidak bergerak.
Ayat Cinta-Nya yang kusuka mengenai hal ini...
Q.S. At-tawbah (9) : 105
"Dan Katakanlah: "Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan."
Dan rangkaian kata manis yang sering kudengar...
Teruslah
bergerak, hingga kelelahan itu lelah mengikutimu
(dan ruhiyah menjadikannya teman baik yang disambut dengan senyuman)
Teruslah
berlari, hingga kebosanan itu bosan mengejarmu.
Teruslah
berjalan, hingga keletihan itu letih bersamamu.
Teruslah
bertahan, hingga kefuturan itu futur menyertaimu.
Tetaplah berjaga, hingga kelesuan itu lesu menemanimu
Wallahua'lam bishawab...
Maaf sekali jika saya sok tahu...
Manusia adalah tempat salah dan lupa, maka kita perlu orang lain untuk saling mengingatkan.
Tetaplah berjaga, hingga kelesuan itu lesu menemanimu
Wallahua'lam bishawab...
Maaf sekali jika saya sok tahu...
Manusia adalah tempat salah dan lupa, maka kita perlu orang lain untuk saling mengingatkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar